Nikel adalah logam yang sangat dibutuhkan oleh banyak industri, termasuk peralatan rumah tangga, kendaraan bermotor, konstruksi, minyak dan gas, farmasi, serta alat medis. Selain itu, nikel merupakan bahan utama dalam pembuatan baterai litium yang digunakan dalam kendaraan listrik, yang permintaannya meningkat seiring dengan popularitas kendaraan listrik.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 23% dari total cadangan global, dengan sumber daya nikel sebesar 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam. Cadangan ini sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sejak 1 Januari 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, dengan tujuan meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri. Meskipun menghadapi protes dan gugatan dari Uni Eropa yang dimenangkan oleh mereka pada November 2022, Indonesia mengajukan banding pada Desember 2022 dan tetap melanjutkan kebijakan larangan ekspor hingga ada keputusan hukum yang mengikat. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mengembangkan hilirisasi nikel guna meningkatkan nilai tambah secara signifikan.
Dibalik itu semua industri ekstraktif merupakan industri yang menyumbang polusi udara yang cukup besar khususnya di kawasan industri seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Polusi ini dihasilkan oleh dua sumber yaitu captive power (captive power adalah pembangkit listrik yang digunakan sendiri) dan proses pengolahan berbasis batu bara. Polutan-polutan yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel tersebut beragam, mulai dari NOx, SO2 , Mercuri, hingga Particulate Matter (PM 2,5).
Polusi udara tersebut berdampak buruk bagi kesehatan para pekerja dan masyarakat sekitar industri. Hasil analisis CREA dan CELIOS menyebutkan jumlah kematian yang dapat dikaitkan dengan aktivitas pengolahan logam dan captive power penunjang industri tersebut diperkirakan akan meningkat secara signifikan hingga tahun 2030, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksi. Jumlah kematian diperkirakan akan meningkat pesat dari 215 kasus pada tahun 2020 menjadi 3.833 kasus pada tahun 2025, hampir 18 kali lipat dalam lima tahun. Tanpa intervensi yang signifikan, jumlah kematian diperkirakan akan terus meningkat menjadi 4.982 pada tahun 2030, dan 8.325 pada tahun 2060.
Beban Ekonomi juga akan terus meningkat karena dampak kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara dari aktivitas pengolahan logam dan captive power penunjang industri. Berdasarkan hasil analisis CREA dan CELIOS Total kerugian ekonomi tahunan akibat polusi udara yang terkait dengan emisi pengolahan logam dan pembangkit listrik tenaga listrik yang dievaluasi di ketiga provinsi tersebut diperkirakan mencapai USD148 juta (Rp2,29 triliun) pada tahun 2020, dan diproyeksikan meningkat hampir 18 kali lipat menjadi USD2,63 miliar (Rp40,7 triliun) pada tahun 2025. Tanpa intervensi, beban perekonomian akan terus meningkat hingga mencapai hampir USD3,42 miliar (Rp53,0 triliun) pada tahun 2030, dan USD5,69 miliar (Rp88,2 triliun) pada tahun 2060.
Oleh Aditya Silvatama – Staf Eksekutif Transisi Bersih