Transisi Energi di Indonesia: Harapan di Bawah Kepemimpinan Prabowo Subianto

Transisi Energi di Indonesia: Harapan di Bawah Kepemimpinan Prabowo Subianto

Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 pada Minggu, 20 Oktober 2024. Dalam pidato perdananya, ia menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai swasembada pangan dan energi sebagai langkah strategis dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Swasembada energi yang dicita-citakan harus berjalan seiring dengan program transisi energi untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 yang telah diumumkan oleh pemerintahan sebelumnya pada KTT G20 di Bali tahun 2022.

Pada acara tersebut juga diluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP), sebuah skema pendanaan dari negara-negara maju untuk membantu negara berkembang dalam beralih dari penggunaan energi kotor ke energi bersih. Indonesia menjadi salah satu penerimanya. Namun, hingga saat ini, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan negara maju lainnya yang disebut International Partners Group (IPG) belum siap memberikan dukungan finansial yang memadai untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia. Mereka hanya menawarkan hibah dalam jumlah kecil dan pinjaman dengan bunga komersial.

Berdasarkan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang dikeluarkan JETP Indonesia, setidaknya diperlukan dana sebesar 25 miliar USD untuk memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang memicu polusi udara. Nilai tersebut sangat besar, dan hingga akhir pemerintahan Jokowi, belum berhasil mencari terobosan pembiayaan transisi energi ini. Artinya, tugas tersebut dilimpahkan kepada pemerintahan Prabowo Subianto.

Menurut Hariyadin Mahardika, Direktur Program Financial Research Center and Clean Energy (FRCCE)-Transisi Bersih, dalam hal pembiayaan transisi energi, setidaknya terdapat tiga opsi alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintahan Prabowo. Pertama, mencari negara mitra alternatif selain negara-negara dalam program JETP. Kandidat terkuatnya adalah Cina.

Cina telah berhasil menaikkan bauran energi bersih negaranya dalam kurun waktu 20 tahun, dari 5 persen pada tahun 2004 menjadi 40 persen pada tahun 2024. Pendanaan program transisi energi di Cina dilakukan melalui skema pendanaan inovatif sehingga tidak membebani rakyat. Pengalaman inilah yang ingin ditawarkan kepada Indonesia.

Secara spesifik, Cina melalui Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional (NDRC) menawarkan pembiayaan terhadap proyek-proyek transisi energi yang tengah digarap Indonesia. Namun, Cina berfokus pada akselerasi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Memang, Cina memiliki kepentingan untuk memperkuat ekosistem kendaraan listrik karena Indonesia merupakan pasar yang potensial. Solusi tersebut berbeda dengan konsep transisi energi JETP yang menekankan pada penutupan dini PLTU. Konversi kendaraan bermotor tersebut juga tidak menyelesaikan sumber utama penghasil emisi karbon, yaitu pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Diketahui juga, Cina banyak berinvestasi di pembangunan PLTU untuk sumber energi smelter nikel. Artinya, hulu dari ekosistem kendaraan listrik akan tetap kotor jika tetap menggunakan sumber energi dari PLTU berbahan bakar fosil.

Alternatif Kedua, mewajibkan pemilik smelter menggunakan pembangkit listrik energi bersih sebagai sumber energinya. Potensi keuntungan industri penghiliran yang cukup besar harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat yang lebih besar. Penggunaan energi bersih akan menggandakan efek positif bagi perekonomian. Berdasarkan laporan riset Financial Research and Clean Energy (FRCCE)-Transisi Bersih, salah satu cara menaikkan kontribusi industri penghiliran nikel terhadap perekonomian lokal adalah dengan mewajibkan penggunaan energi bersih pada smelter, baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibangun. Penggunaan energi bersih akan meningkatkan kembali kualitas udara di kawasan tersebut yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar tambang. Energi bersih juga mengurangi eksternalitas negatif kegiatan eksploitasi tambang.

Alternatif Ketiga, Prabowo harus mengejar efek pengganda ekonomi dari agenda penghiliran nikel dengan cara menyelaraskan dengan program transisi energi. Prabowo membutuhkan sumber-sumber pendapatan yang baru dan cepat. Salah satu yang mungkin adalah memungut windfall profit tax untuk komoditas batu bara. Jika besaran pajaknya ditetapkan sebesar 25%, maka potensi pendapatannya dapat mencapai 25 triliun per tahun. Pendapatan ini dapat dimanfaatkan untuk memensiunkan dini PLTU. Potensi pendapatan akan menjadi lebih besar jika Prabowo mampu mengamankan royalti tambang yang selama ini hilang akibat penyelundupan dan penambangan ilegal. Potensi pendapatannya dapat mencapai 50 triliun per tahun.

Prabowo Subianto harus hadir sebagai pemimpin yang pro terhadap lingkungan. Jika bersungguh-sungguh, namanya akan terpatri sebagai pemimpin yang berhasil memulai usaha nyata untuk mencapai target Indonesia bebas emisi pada tahun 2060.

 

Diadopsi dari opini Hariyadin Mahardika pada koran.tempo.co

https://koran.tempo.co/read/opini/489637/harapan-transisi-energi-di-era-prabowo