Hilirisasi Industri Nikel, Nilai Tambah Ekonomi, Dan Indonesia Bebas Emisi 2060
Dalam program hilirisasi mineral, pemerintah Indonesia menggunakan kebijakan berlapis atau double policy, yaitu (1) melarang ekspor bahan mentah dan (2) memberikan insentif untuk investasi industri peleburan logam (smelter).
Kebijakan berlapis ini menyebabkan over investment. Kapasitas smelter nikel di Indonesia naik 15 kali lipat dalam 7 tahun dari 200 ribu ton feronikel pada tahun 2016 menjadi 3.046 ribu ton pada tahun 2023 dan akan naik lagi menjadi 5.568 ribu ton dalam beberapa tahun ke depan, mengingat saat ini ada 2.522 ribu ton kapasitas yang sedang dan akan dibangun.
Selanjutnya, over investment menyebabkan over production. Produksi nikel Indonesia meningkat lebih dari 15 kali lipat dari 117 ribu ton pada tahun 2014 menjadi 1,8 juta ton pada tahun 2023, dan masih akan terus meningkat lagi mengingat besarnya kapasitas smelter yang akan selesai dibangun. Suplai nikel dunia melimpah dan harga nikel global turun. Ini merugikan Indonesia sebagai produsen utama karena menurunkan nilai tambah ekonomi yang menjadi tujuan utama hilirisasi.
Berhubung hilirisasi menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama maka terjadi peningkatan jumlah PLTU captive (PLTU yang digunakan dalam industri) yang sangat pesat dari 1,4 GW pada tahun 2013 menjadi 10,8 GW pada tahun 2023. Sementara masih ada 14,4 GW yang sedang dan akan dibangun dalam waktu dekat sehingga totalnya akan mencapai 25,5 GW, atau sekitar 72% dari total PLTU on grid saat ini (34,8 GW). PLTU captive akan menjadi lubang besar yang dapat menggagalkan program Indonesia bebas emisi.
Policy paper ini membuat analsisi ekonomi dan lingkungan hidup untuk menyusun model hilirisasi hijau yang optimal, meminimalkan kerusakan lingkungan hidup dan sekaligus meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Download Indonesian Version
Download English Version